Erman anom, PhD Professor Alfa University College Malaysia
MabesNews.tv, Selama lebih dari tujuh puluh tahun berada di bawah sistem negara kesatuan, Indonesia belum mampu menghadirkan kesejahteraan dan kedamaian yang berlanjut bagi rakyatnya. Meskipun kaya akan sumber daya alam dan budaya, kemajuan terhambat oleh kegagalan sistemik dan persoalan tata kelola yg buruk. Janji kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud bagi mayoritas rakyat. Mereka masih menghadapi ketidaksetaraan (inequality), ketertinggalan (underdevelopment) dan ketiadaan keadilan (lack of justice) dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu penghalang terbesar bagi kemajuan Indonesia adalah korupsi yang merajalela di setiap tingkatan pemerintahan. Pejabat yang tertangkap basah melakukan praktik korupsi sering kali hanya mendapat hukuman ringan, yang lebih menyerupai cubitan di tangan daripada efek jera yang sesungguhnya. Sistem peradilan sendiri telah tercemar. Menjatuhkan vonis ringan sambil membiarkan para elit terpidana menjalani hukuman di penjara mewah yang disebut “penjara bintang lima” adalah hal yg sudah wajar. Lebih parah lagi, banyak pejabat korup berhasil mempertahankan kekayaan haramnya, sehingga setelah bebas, mereka tetap bisa menikmati hasil dari tindak korupsi.
Kaum elit politik juga telah memanfaatkan kerangka demokrasi Indonesia untuk kepentingan pribadi. Partai politik sering kali dijadikan alat oleh elit untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan. Masuk ke jajaran atas partai dikendalikan secara ketat, hanya segelintir orang yang bisa naik ke posisi berpengaruh. Para mantan presiden, begitu juga presiden yang sekarang, mendirikan partai untuk melayani ambisi pribadi mereka, bukan kepentingan rakyat. Secara praktek, partai politik telah menjadi sarana promosi diri para elit untuk meraih posisi penting di negeri ini, bukan pelayanan tulus bagi bangsa.
Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, yang seharusnya menjadi landasan kemakmuran nasional, justru dimonopoli oleh elit dan kroninya. Manfaat kekayaan negara tidak dirasakan oleh rakyat biasa, tapi kekayaan itu terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Dalam beberapa kasus, ketika ditemukan sumber daya alam di tanah rakyat, celah hukum serta aparat yang korup—termasuk hakim, polisi, dan birokrat—digunakan untuk merampas tanah tersebut, sehingga masyarakat kehilangan hak dan mata pencahariannya.
Bagi rakyat, hampir tidak ada jalur untuk mencari keadilan. Pemerintah provinsi lebih berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, bukan sebagai pelayan masyarakat lokal. Sehatusnya kehadiran pemerintahan local untuk merespons kebutuhan daerah, mereka justru terbelenggu oleh otoritas pusat, semakin menjauhkan diri dari rakyat dan mengikis kepercayaan terhadap sistem.
Dalam kontek Indonesia, system negara kesatuan tidak memiliki harapan besar untuk sebuah perubahan dan perbaikan. Reformasi adalah hal yg mendesak yg perlu dilakukan. Model reformasi yg dibutuhkan adalah menggeser Indonesia dari negara kesatuan yang kaku menuju negara desentralisasi, di mana provinsi memiliki otonomi penuh. Provinsi harus menguasai sepenuhnya sumber daya alam, ekonomi, sistem hukum, pemilu, pajak local, dan pemerintahan lokal, sementara pemerintah pusat cukup fokus pada pertahanan nasional, kebijakan luar negeri, stabilitas moneter, dan imigrasi. Model seperti ini akan memberdayakan pemerintah daerah untuk merancang solusi yang sesuai dengan kondisi daerah, yg berlandaskan pada aspirasi rakyat, dan kekuatan yg mereka miliki.
Dengan memberikan otonomi penuh kepada provinsi, kepemimpinan provinsi akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang mereka pimpin. Kekayaan lokal akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, bukan disedot untuk memperkaya elit pusat yang jauh dari mereka. Setiap provinsi akan bebas mengembangkan strategi pembangunan sesuai dengan aspirasi rakyat dan potensi wilayahnya, sehingga tercipta Indonesia yang lebih adil dan dinamis.
Tanpa reformasi tegas seperti ini, Indonesia berisiko tetap terjebak dalam lingkaran korupsi, ketidakadilan, dan stagnasi selama bertahun-tahun ke depan. Hanya dengan mengembalikan kekuasaan dan kepercayaan kepada provinsi, bangsa ini akhirnya bisa membuka seluruh potensinya dan menunaikan janji kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.