MabesNews.tv – Jakarta : Gelombang demonstrasi yang baru-baru ini melanda sejumlah daerah kembali menjadi alarm bagi pemerintah akan pentingnya komunikasi publik yang kuat, transparan, dan berdaya jangkau luas. Dalam suasana yang penuh ketegangan tersebut, pakar Pendidikan dan komunikasi Dr. Iswadi angkat bicara dan mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan peran komunikasi sebagai pilar utama dalam membangun kepercayaan masyarakat.
Menurut Dr. Iswadi, lemahnya komunikasi publik pemerintah menjadi salah satu faktor yang memperkeruh suasana pasca aksi demonstrasi.Hal tersebut disampaikan nya kepada wartawan Melalui pesan WhatsApp,, Sabtu 6 September 2025, ia menegaskan bahwa minimnya klarifikasi resmi, tidak adanya narasi yang terstruktur, serta lambatnya respon terhadap isu-isu strategis telah menciptakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh disinformasi dan spekulasi liar di media sosial.
Pemerintah terlihat selalu tertinggal dalam merespons kegelisahan publik. Ketika masyarakat turun ke jalan, yang muncul justru kebingungan. Tidak ada narasi tunggal yang dijaga, tidak ada juru bicara yang kuat dan dipercaya publik. Akibatnya, informasi yang beredar justru dikendalikan oleh pihak-pihak yang punya agenda masing masing, kata Dr. Iswadi.
Ia menambahkan, dalam era digital seperti sekarang, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga soal membangun persepsi dan legitimasi. Ketika komunikasi publik lemah, negara akan kalah dalam medan perang informasi. Saat pemerintah diam atau lambat, opini publik dibentuk oleh suara yang paling nyaring, bukan oleh yang paling benar, tegasnya.
Demo yang terjadi, menurutnya, merupakan akumulasi dari ketidakpuasan yang tidak tersalurkan melalui jalur komunikasi formal. Ketika kanal-kanal komunikasi resmi tidak bisa menampung aspirasi dan kegelisahan masyarakat, jalanan menjadi pilihan. Di sinilah, katanya, komunikasi publik harus dilihat bukan sebagai pelengkap kebijakan, tetapi sebagai bagian dari kebijakan itu sendiri.
Dr. Iswadi juga mengkritik cara pemerintah dalam menyikapi kritik dan protes. Ia menilai ada kecenderungan reaktif yang justru memperkeruh suasana. Alih-alih mengedepankan pendekatan dialogis, komunikasi pemerintah seringkali bersifat defensif dan normatif.
Komunikasi publik yang baik harus mampu merangkul perbedaan, menjawab kekhawatiran, dan menunjukkan empati. Namun yang kita lihat justru seringkali sebaliknya pernyataan yang normatif, birokratis, dan jauh dari kedekatan emosional dengan masyarakat, ujarnya.
Dalam konteks ini, Dr. Iswadi mendorong pemerintah untuk membangun ulang strategi komunikasi publik yang tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi juga humanis. Menurutnya, ada tiga hal yang harus dibenahi.
Pertama, perlu adanya juru bicara yang kredibel dan konsisten . Publik memerlukan sosok yang bisa dipercaya, yang bisa menjelaskan kebijakan dengan bahasa yang sederhana namun bermakna. Sosok ini juga harus hadir secara konsisten di ruang publik, tidak hanya saat krisis.
Kedua, pemerintah harus mengintegrasikan komunikasi publik dalam proses perumusan kebijakan . Jangan sampai kebijakan diumumkan tanpa terlebih dahulu membangun narasi yang kuat di masyarakat. Kesiapan komunikasi harus sejalan dengan kesiapan teknis dan politik kebijakan tersebut.
Ketiga, pemerintah harus hadir di ruang digital dengan strategi yang adaptif dan berbasis data. Media sosial bukan hanya tempat menyebarkan informasi, tetapi juga tempat mendengarkan. Pemerintah harus punya mekanisme untuk membaca suara publik secara real time dan meresponsnya secara tepat.
Dr. Iswadi juga menyoroti pentingnya kolaborasi dengan tokoh masyarakat, akademisi, dan media sebagai bagian dari ekosistem komunikasi publik. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada orkestrasi, sinergi dengan berbagai pihak agar pesan-pesan kebijakan sampai dengan baik ke masyarakat luas, tambahnya.
Ia menutup dengan peringatan bahwa jika komunikasi publik terus-menerus diabaikan, maka krisis kepercayaan akan menjadi tantangan yang jauh lebih besar daripada sekadar kritik kebijakan. “Pemerintah yang tidak dipercaya akan kesulitan memimpin, bahkan ketika ia punya niat baik. Kepercayaan adalah modal utama, dan komunikasi adalah jalannya.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi informasi, kemampuan pemerintah untuk berkomunikasi secara terbuka, tepat, dan menyentuh nurani masyarakat adalah kunci menjaga stabilitas dan legitimasi. Kritik Dr. Iswadi seharusnya menjadi peringatan serius bahwa komunikasi publik bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mutlak dalam tata kelola pemerintahan yang sehat dan demokratis.##