Penulis :Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
Mabesnews.Tv-Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto belum lama ini kembali memanaskan arena politik nasional. Pencopotan Budi Arie Setiadi dari kursi Menteri Koperasi dan UKM menjadi titik api yang menyulut kemarahan para relawan Jokowi. Budi Arie bukan sekadar pejabat teknokratis, ia adalah simbol, sekaligus panglima relawan yang sejak 2014 menjadi ujung tombak pemenangan Jokowi. Maka ketika posisinya dirombak, banyak pihak membaca langkah itu bukan sekadar pergantian menteri, melainkan upaya strategis Prabowo untuk memangkas simpul-simpul kekuatan politik yang masih berafiliasi dengan Jokowi.
Reaksi keras pun datang dari sejumlah tokoh relawan, salah satunya Yanes Yosua Frans, ketua ormas Wira Lentera Jiwa yang sebelumnya bernama We Love Jokowi. Melalui media sosial, Yanes menuding Presiden Prabowo bersikap arogan dengan menggunakan hak prerogatifnya tanpa dasar yang jelas. Ia bahkan melontarkan tuduhan bahwa kebijakan Prabowo, seperti pemangkasan anggaran daerah dan kenaikan pajak, menjadi pemicu keresahan rakyat. Narasi itu berlanjut dengan klaim bahwa relawan siap melawan karena menilai arah kepemimpinan Prabowo sudah tidak lagi sejalan dengan Jokowi.
Fenomena kemarahan relawan ini dapat dibaca sebagai gejala politik resistensi. Dalam literatur politik, relawan kerap dipandang sebagai pasukan non-partai yang dibentuk untuk menopang legitimasi moral kandidat dan sekaligus mesin mobilisasi politik. Penelitian Marcus Mietzner (2015) menunjukkan bagaimana relawan Jokowi pada Pilpres 2014 menjadi kekuatan besar di luar struktur partai, dengan daya tekan yang bahkan melebihi organisasi formal. Relawan tidak tunduk pada aturan partai, melainkan pada loyalitas personal terhadap figur. Loyalitas itulah yang kini berbalik menjadi resistensi ketika figur yang mereka bela kehilangan pengaruh langsung dalam pemerintahan.
Kemarahan relawan juga tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pasca 2024. Jokowi, meski sudah tidak lagi menjabat Presiden, masih berusaha mempertahankan pengaruh politik melalui strategi dinasti. Gibran Rakabuming Raka, yang kini menduduki kursi wakil Presiden, dipandang sebagai pion penting menuju Pilpres 2029. Dalam kerangka itu, keberadaan Budi Arie di kabinet tidak hanya berfungsi administratif, tetapi juga strategis yakni sebagai penghubung antara relawan dengan akses kekuasaan, sekaligus saluran logistik yang menopang keberlangsungan gerakan mereka. Hilangnya posisi Budi Arie berarti terputusnya simpul vital yang menopang proyek politik Jokowi dan jaringan relawannya.
Kajian Edward Aspinall tentang politik elektoral Indonesia menekankan bahwa jaringan massa dan sumber dana adalah dua hal yang menentukan keberhasilan perebutan kekuasaan. Reshuffle yang menyingkirkan Budi Arie dapat dibaca sebagai langkah sadar Prabowo untuk melemahkan infrastruktur politik Jokowi. Lebih jauh, ada spekulasi bahwa pencopotan itu juga memutus rantai distribusi dukungan finansial yang selama ini ditengarai bersumber dari berbagai kanal kontroversial. Dengan demikian, kebijakan reshuffle kali ini bukan semata urusan teknis tata kelola, melainkan bagian dari strategi perebutan panggung politik menuju 2029.
Dampak yang paling berbahaya dari kemarahan relawan adalah potensi meluasnya konflik sosial. Narasi bahwa Prabowo menjadi pemicu kerusuhan atau dianggap memunggungi rakyat bisa dengan mudah dikapitalisasi di ruang digital. Data survei Indikator Politik Indonesia pada Agustus 2025 menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo masih relatif tinggi di angka 63 persen, tetapi tren penurunan terlihat pada kalangan pemilih muda perkotaan. Jika resistensi relawan berkembang menjadi gerakan digital yang masif, maka erosi legitimasi pemerintah bisa menjadi kenyataan dalam waktu singkat.
Dalam menghadapi situasi ini, Prabowo berada pada dilema. Ia harus menunjukkan ketegasan sebagai presiden agar tidak terlihat tunduk pada tekanan kelompok relawan, sekaligus menjaga marwah institusi kepresidenan. Namun, langkah represif yang berlebihan bisa berbalik menjadi bumerang, mengingat jejaring relawan bersifat cair, lintas kelas sosial, dan sulit dikendalikan oleh mekanisme formal. Jalan tengah yang paling rasional adalah konsistensi pada penegakan hukum. Presiden perlu memastikan Polri dan lembaga hukum benar-benar bekerja sesuai prinsip rule of law, bukan sebagai alat politik warisan kekuasaan sebelumnya. Kritik publik terhadap Polri selama era Jokowi, yang kerap dipandang lebih berfungsi sebagai algojo politik ketimbang penegak hukum, menjadi pelajaran penting bagi Prabowo untuk menata ulang institusi ini agar benar-benar berada di bawah kendali presiden.
Umpatan relawan Jokowi kepada Prabowo pada akhirnya bukan sekadar letupan emosional, tetapi refleksi dari pertarungan politik dua narasi besar: konsolidasi kekuasaan Prabowo di satu sisi, dan manuver Jokowi untuk membangun dinasti politik menuju 2029 di sisi lain. Reshuffle kabinet hanyalah bab awal dari drama panjang perebutan pengaruh yang akan menentukan wajah politik Indonesia lima tahun mendatang. Sejarah menunjukkan, relawan bisa menjadi energi positif bagi demokrasi, tetapi ketika kehilangan orientasi, mereka juga bisa menjelma menjadi kekuatan destruktif yang merongrong stabilitas negara. Tantangan terbesar Prabowo bukan hanya bagaimana menundukkan relawan, melainkan bagaimana memastikan bahwa politik resistensi ini tidak bermetamorfosis menjadi konflik sosial yang lebih luas. Jika gagal mengelola ketegangan ini, bukan tidak mungkin kursi kekuasaan yang baru ia duduki akan diguncang lebih cepat dari yang ia bayangkan.
(Samsul Daeng Pasomba/Tim)