Mabesnews.Tv – Batam, Kepulauan Riau – Kampung Tua Bagan, salah satu wilayah bersejarah di Kota Batam, menyimpan jejak panjang perjalanan masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Berdasarkan keterangan tokoh masyarakat setempat, asal-usul kampung ini terkait erat dengan kedatangan tokoh Melayu pertama yang dikenal dengan nama Tok Tanjung.
Tok Tanjung, asal Malaysia, datang bersama tiga keluarga untuk menetap di kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Tua Bagan. Kedatangan mereka bukan sekadar mencari tempat tinggal, tetapi juga melakukan kegiatan sehari-hari seperti memotong kayu dan mendirikan tenda sementara, yang disebut berbagan atau bermalam. Dari kegiatan inilah muncul istilah “Bagan,” yang menjadi penanda awal sejarah kampung ini.
Pada tahun 1886, Kampung Tua Bagan mulai mengalami dinamika sosial baru dengan kedatangan Raja Muhammad Arif beserta empat orang suku Bugis. Kehadiran mereka menandai awal interaksi antara komunitas Melayu dan Bugis di wilayah tersebut. Seiring waktu, interaksi ini berkembang menjadi perkawinan campuran, memperkaya keragaman budaya dan memperkuat identitas lokal Kampung Tua Bagan sebagai pusat pertemuan berbagai suku di Batam.
Perkembangan Kota Batam pada 1997 membawa perubahan signifikan pada demografi Kampung Tua Bagan. Wilayah ini mulai dihuni berbagai suku lainnya, termasuk Jawa, Batak, Palembang, dan Padang. Hal ini menunjukkan bahwa Kampung Tua Bagan bukan hanya pusat komunitas Melayu-Bugis, tetapi juga wilayah yang mencerminkan keragaman etnis di Batam.
Berdasarkan data terbaru, Kampung Tua Bagan kini memiliki jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 2.200 yang tersebar di beberapa wilayah administratif. Di RW 08 terdapat 416 KK yang terbagi ke dalam tiga RT: RT 01 sebanyak 161 KK, RT 02 sebanyak 62 KK, dan RT 03 sebanyak 154 KK, dengan total sekitar 377 KK. Sementara itu, RW VIII dan RW IX menaungi empat RT, termasuk perumahan Winner Sweet Home dan Devin. Jumlah KK di wilayah ini adalah 429, dengan rincian RT 01 sebanyak 185 KK, RT 02 sebanyak 74 KK, RT 03 sebanyak 78 KK, dan RT 04 sebanyak 95 KK, sehingga total keseluruhan mencapai 1.016 KK.
Informasi ini diperoleh dari Dato Zakaria, Ketua RW VIII sekaligus Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Sei Beduk, yang memberikan keterangan bertempat di Masjid Darus Aman, Bagan. Dato Zakaria menekankan pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya di tengah modernisasi Batam. Menurutnya, meskipun Kampung Tua Bagan telah berkembang menjadi wilayah multi-etnis, nilai-nilai budaya Melayu tetap menjadi identitas yang dijaga dengan serius oleh masyarakat lokal.
Selain sejarah dan keragaman budaya, Kampung Tua Bagan juga menjadi pusat perhatian terkait pelestarian Bahasa Melayu, bahasa asli masyarakat setempat. Hingga kini, Bahasa Melayu belum diajarkan secara khusus di sekolah-sekolah, baik di tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, baik di Provinsi Riau maupun Provinsi Kepulauan Riau.
“Bahasa Melayu adalah bagian dari jati diri kita. Jika tidak diajarkan sejak dini di sekolah, generasi muda akan semakin jauh dari akar budaya mereka,” ujar Dato Zakaria. Para ahli bahasa dan tokoh masyarakat menilai, memasukkan Bahasa Melayu sebagai muatan lokal dalam kurikulum sekolah adalah langkah strategis untuk menjaga kelangsungan bahasa. Dengan pembelajaran formal, generasi muda tidak hanya mampu berbicara, tetapi juga memahami sejarah, sastra, dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bahasa ini.
Kampung Tua Bagan, dengan sejarah panjang interaksi antara suku Melayu dan Bugis serta keragaman etnis lain, menjadi contoh nyata pentingnya pendidikan bahasa sebagai bagian dari pelestarian budaya. Dari Tok Tanjung yang pertama kali bermalam untuk berbagan, hingga kehadiran berbagai suku lain di era modern, Kampung Tua Bagan tetap menjadi simbol harmonisasi budaya dan ketahanan identitas lokal di tengah perubahan kota yang pesat.
NT