MabesNews.tv – LAMPUNG TIMUR |
Program Pengolahan Lahan Pasca Optimalisasi Lahan Rawa (OPLA) tahun 2025 di Desa Adi Luhur, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, kembali menuai sorotan tajam. Bantuan dari Kementerian Pertanian yang seharusnya menjadi penopang petani justru diduga tidak sepenuhnya sampai ke tangan penerima manfaat.
Berdasarkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) resmi Kementerian Pertanian, setiap hektar lahan dialokasikan Rp 900.000 untuk menutup biaya pengolahan tanah, meliputi BBM, oli, sewa alsintan, serta upah operator. Namun, hasil investigasi di lapangan menunjukkan bahwa petani di Desa Adi Luhur hanya menerima setara Rp 540.000 per hektar.
Fakta Lapangan
Keterangan dari beberapa petani menguatkan dugaan tersebut. Sebut saja Petruk (Dusun V) dengan luas lahan 0,25 ha hanya menerima Rp 135.000. Dan sebut saja Gareng (Dusun III) dengan luas lahan 0,5 ha hanya menerima Rp 270.000. Jika dihitung, terdapat selisih Rp 360.000 per hektar yang tidak sampai ke petani.
Potensi Kerugian Negara
Total lahan penerima bantuan OPLA di Desa Adi Luhur mencapai 366 hektar. Dengan perhitungan tersebut, potensi kerugian negara adalah:
Seharusnya: Rp 329.400.000 (Rp 900.000 × 366 ha)
Realisasi dugaan di lapangan: Rp 197.640.000 (Rp 540.000 × 366 ha)
Selisih/Potensi kerugian negara: Rp 131.760.000
Jika pola dugaan pemangkasan ini juga terjadi di desa-desa lain se-Kecamatan Jabung, maka kerugian negara berpotensi jauh lebih besar.
Pengakuan Ketua Gapoktan
Ketua Gapoktan Desa Adi Luhur, Suroso, mengakui bahwa dana bantuan tidak dibagi sesuai luasan hektar, melainkan dibagi rata antar kelompok.
“Daripada nanti berkesinambungan endingnya gak enak, akhirnya saya bagi rata, Pak,” ujarnya saat bertemu awak media bersama beberapa ketua Gapoktan lain di Kecamatan Jabung.
Sikap Tegas IWO Lamtim
Menanggapi temuan tersebut, Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung Timur menyatakan sikap tegas. Ketua IWO Lampung Timur, Azzohirri, Z.A., S.Pd.I, menegaskan bahwa praktik pembagian rata ini merupakan dugaan penyimpangan yang merugikan petani sekaligus negara.
“Dana OPLA adalah anggaran negara dengan nilai Rp 900 ribu per hektar. Fakta di Desa Adi Luhur menunjukkan petani hanya menerima Rp 540 ribu per hektar. Ini jelas dugaan pemangkasan. Potensi kerugian negara mencapai Rp 131 juta lebih hanya di satu desa. Kami menduga pola yang sama terjadi di desa-desa lain di Jabung,” tegas Azzohirri.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa indikasi dugaan keterlibatan pihak lain di luar Gapoktan tidak bisa diabaikan.
“Indikasi kuat jangan-jangan ada oknum dinas juga yang ikut bermain dalam kasus ini. Maka sudah sepatutnya aparat penegak hukum menelusuri lebih dalam aliran dana tersebut, agar terang benderang siapa yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Azzohirri menambahkan, IWO Lampung Timur akan segera membawa dugaan ini ke ranah hukum.
“Kami akan melaporkan kasus ini secara resmi ke Kejaksaan Negeri Lampung Timur. Kami tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, namun indikasi penyimpangan sudah sangat jelas. Uang negara tidak boleh dimainkan, hak-hak petani harus dilindungi,” tegasnya, yang juga pernah memimpin PWI Lampung Timur selama dua periode, serta menjabat Ketua Komisi III DPRD Lampung Timur (2014–2019) dari Fraksi Golkar.
Cakupan Bantuan
Sebagai informasi, dari total 24 kecamatan di Kabupaten Lampung Timur, bantuan saprodi/dolomit TA 2025 telah diusulkan untuk 11 kecamatan dengan jumlah 27 desa. Artinya, jika praktik dugaan pemangkasan ini terjadi meluas, maka potensi kerugian negara bisa jauh lebih besar dari sekadar di satu desa.
Publik kini menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Jika benar dugaan pemangkasan ini terjadi secara sistematis, maka kerugian negara bisa mencapai angka yang fantastis dan merugikan ribuan petani.
Bersambung….