Mabesnews.tv. Tanjungpinang – Suhu politik dan sosial di Kepulauan Riau kembali menghangat menjelang aksi unjuk rasa yang direncanakan oleh Aliansi Gerakan Bersama (GEBER) pada Senin, 6 Oktober 2025, di Kantor DPRD Kepri. Rencana aksi yang diklaim akan melibatkan sekitar seribu peserta ini menjadi sorotan tajam publik, terutama terkait arah gerakan, kejelasan tuntutan, serta legitimasi representasi mereka di hadapan masyarakat.
Aksi ini muncul setelah polemik audiensi antara Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, dengan pelaku UMKM Taman Gurindam 12 pada 2 Oktober lalu. Dalam forum tersebut, Gubernur secara tegas hanya membuka ruang dialog bagi para pelaku usaha kecil yang beraktivitas langsung di kawasan Gurindam 12. Namun, kelompok GEBER disebut berupaya ikut serta dalam audiensi yang bukan ditujukan untuk mereka, sehingga memicu kekecewaan dan berujung pada keputusan untuk melakukan aksi di DPRD.
Seorang pejabat Pemerintah Provinsi Kepri menjelaskan bahwa keputusan Gubernur bersifat administratif dan substantif. “Audiensi itu murni untuk pelaku UMKM, bukan organisasi eksternal. Gubernur ingin mendengar langsung dari mereka yang memang beroperasi di lapangan, bukan pihak lain yang tidak memiliki dasar legal atau keterikatan dengan kawasan,” tegasnya.
Fenomena ini kemudian dibaca oleh sejumlah pengamat sebagai bentuk perebutan ruang representasi di tingkat lokal. Seorang sosiolog dari salah satu perguruan tinggi di Tanjungpinang menilai langkah GEBER mencerminkan upaya untuk memperluas pengaruh, meskipun dengan risiko kehilangan legitimasi. “Ketika ruang dialog terbatas, kelompok yang merasa tersisih sering menggunakan jalur tekanan publik seperti demonstrasi. Tapi dalam politik representasi, yang paling penting adalah siapa yang sah mewakili isu itu. Legitimasi menjadi kunci,” ujarnya.
Dari sisi substansi, arah tuntutan GEBER dinilai masih kabur. Beredar isu bahwa mereka akan mengangkat soal transparansi pengelolaan aset daerah. Dan menekankan kepada DPRD Provinsi Kepulauan Riau untuk membuat pansus terkait dengan taman gurindam 12 dan kebijakan pengelolaan kawasan Gurindam 12. Namun, pengurus UMKM Taman Gurindam 12 secara terbuka menegaskan bahwa mereka tidak membahas pelelangan, tender, atau proyek apapun dalam forum resmi dengan pemerintah. Fokus utama UMKM tetap pada kelangsungan usaha kecil dan keteraturan kawasan wisata Gurindam 12 sebagai ruang ekonomi rakyat.
“Jika GEBER membawa isu yang tidak terkait langsung dengan UMKM, maka akan muncul kesan mereka menunggangi momentum. Sebaliknya, jika mereka meniru agenda UMKM, gerakannya menjadi tidak orisinal,” kata seorang peneliti kebijakan publik dari Batam. Ia menambahkan bahwa dalam dinamika sosial lokal, “gerakan tanpa basis jelas mudah kehilangan kredibilitas di mata publik.”
Situasi semakin kompleks setelah beredar kabar bahwa salah seorang anggota UMKM, bernama Maladi, akan ikut serta dalam aksi GEBER. Pengurus resmi Perkumpulan UMKM Taman Gurindam 12. Telah mengeluarkan pernyataan tegas: kehadiran Maladi bersifat pribadi dan tidak mewakili organisasi. Bahkan, pada pertemuan internal yang digelar pada malam Minggu (4 Oktober 2025), pengurus memutuskan bahwa jika yang bersangkutan mengatasnamakan UMKM atau menggunakan atribut organisasi dalam aksi, audiensi maka ia akan dianggap sebagai aktor provokasi yang melanggar kesepakatan hasil audiensi bersama Gubernur.
Keputusan itu sudah dituangkan dalam surat resmi yang diserahkan kepada pihak kepolisian dan diharapkan menjadi dasar bagi aparat keamanan dan pengamanan DPRD untuk mengambil langkah tegas. Seorang pengamat organisasi menilai langkah ini sebagai bentuk konsolidasi penting bagi UMKM. “Organisasi yang sehat harus menjaga batas identitasnya. Begitu ada anggota yang bertindak di luar garis kesepakatan dan membawa nama lembaga tanpa mandat, maka tindakan tegas perlu dilakukan demi menjaga kredibilitas kolektif,” katanya.
Pihak kepolisian sendiri telah melakukan pemetaan potensi kerawanan dan menegaskan pendekatan persuasif dalam pengamanan aksi. Namun, mantan perwira intelijen daerah menilai potensi provokasi tetap ada. “Aksi yang berisi campuran isu dan kepentingan sering kali sulit dikendalikan. Bila ada individu yang membawa agenda pribadi atau memanfaatkan nama lembaga, aparat perlu bertindak cepat agar situasi tidak meluas,” ujarnya.
Dalam konteks sosial-politik Kepri, posisi GEBER kini berada di persimpangan antara konsolidasi dan fragmentasi. Jika mereka berhasil menyusun tuntutan yang konkret, rasional, dan berpihak pada kepentingan publik luas, maka aksi mereka bisa menjadi instrumen demokrasi yang sah. Namun jika gerakan ini hanya menjadi reaksi emosional atas eksklusi politik, tanpa basis massa yang jelas dan arah strategis, maka GEBER berisiko kehilangan relevansi.
Seorang analis komunikasi politik di Tanjungpinang menutup dengan refleksi tajam: “Gerakan sosial yang kehilangan fokus ibarat kapal tanpa kompas. Bisa berlayar jauh, tapi tak tahu ke mana akan berlabuh. Legitimasi dan arah perjuangan harus jelas, jika tidak, publik hanya akan melihatnya sebagai drama politik yang berulang.”
Senin mendatang akan menjadi hari penentu. Masyarakat menunggu apakah GEBER mampu membuktikan diri sebagai gerakan aspiratif yang autentik, atau justru memperkuat persepsi bahwa mereka sekadar menumpang arus isu yang bukan miliknya.
,- arf-6