MabesNews.Tv, Mandailing Natal – 6 September 2025 | Isu dugaan keterlibatan aparat penegak hukum (APH) dalam praktik tambang emas ilegal di Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), kembali mencuat di media sosial. Informasi yang beredar menyebutkan, oknum di Polsek Lingga Bayu diduga menerima setoran hingga Rp20 juta per bulan dari pemilik tambang ilegal.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun wartawan di Madina, pemilik tambang mengaku telah menyetorkan dana tersebut melalui salah satu Kanit di Polsek Lingga Bayu. Ironisnya, dana tersebut disebut-sebut dikemas dengan modus “uang kerja sama” untuk wartawan dan LSM. Hal ini jelas merusak citra pers dan lembaga swadaya masyarakat sebagai kontrol sosial di daerah.
Pasalnya, keterlibatan oknum APH dalam praktik ilegal tersebut telah menyeret nama pers dan LSM dalam perbuatan melawan hukum. Tindakan itu dinilai menyalahi aturan serta bertentangan dengan Undang-Undang Pers di Indonesia.
Untuk mendapatkan konfirmasi, wartawan dengan inisial KD mencoba menghubungi Kapolsek Lingga Bayu melalui pesan WhatsApp. Namun hingga berita ini diturunkan, pesan tersebut tidak direspons.
Maraknya praktik tambang ilegal jelas merugikan negara. Eksploitasi liar dan praktik korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) menyebabkan kerugian besar.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR/DPR RI, Jumat (15/8/2025), mengungkapkan terdapat sekitar 1.063 tambang ilegal yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Potensi kerugian negara akibat aktivitas ilegal itu diperkirakan mencapai minimal Rp300 triliun.
Di Madina sendiri, masyarakat sekitar kehilangan mata pencaharian akibat aktivitas tambang yang hanya menyisakan limbah pengerukan. Padahal, wilayah ini dikenal kaya akan sumber daya emas. Salah satunya berada di eks lokasi tambang PT M3, tepatnya di Kelurahan Tapus, Kecamatan Lingga Bayu, sekitar 800 meter dari Dusun Pulo Padang, Desa Simpang Durian. Jika kekayaan alam tersebut dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah, masyarakat di sekitarnya tentu bisa merasakan kesejahteraan.
Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Aktivitas tambang kembali dikelola kelompok masyarakat tertentu, sementara oknum aparat diduga mengambil keuntungan pribadi. Para penambang disebut diwajibkan menyetor Rp20 juta per bulan kepada oknum APH.
Lebih ironis lagi, oknum aparat di Lingga Bayu diduga tidak hanya menjadi “pelindung” tambang ilegal, tetapi juga ikut terlibat langsung sebagai pemodal dengan menggunakan alat berat jenis ekskavator.
Tindakan ini jelas merusak citra dan nama baik Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Masyarakat mendesak Divisi Propam Polri segera turun ke lokasi untuk memeriksa Kapolsek dan Kanit Polsek Lingga Bayu yang diduga kuat menyalahi kode etik kepolisian.
Penulis: KD/tim