Mabesnews.Tv, Tanjungpinang – Proses pembentukan kepengurusan UMKM Taman Gurindam 12 memasuki babak penting. Setelah dua kali rapat konsolidasi, kepengurusan inti termasuk badan pengawas terbentuk. Harapannya, wadah ini bisa menjadi payung yang melindungi ribuan pelaku usaha kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya di kawasan tepi laut Gurindam 12.
Di sisi lain, dinamika eksternal justru semakin dinamis. Rencana aksi rakyat pada 2 Oktober 2025 di Tanjungpinang memunculkan perdebatan baru. Perkumpulan UMKM Gurindam 12 merasa heran mengapa ada desakan agar aksi mereka dibatalkan atau ditunda, sementara kelompok lain seperti komunitas ojek online dari Batam akan tetap melakukan aksi di Pemprov Kepri di hari yang sama. Para penggerak UMKM menegaskan bahwa mereka memiliki hak konstitusional yang sama, bahkan sudah memenuhi ketentuan pemberitahuan resmi kepada pihak kepolisian sesuai undang-undang.
Pengamat tata kelola pemerintahan, menekankan pentingnya landasan tata kelola yang kokoh dalam pembentukan UMKM Gurindam 12. Menurutnya, organisasi rakyat yang baru lahir ini harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan bebas dari konflik kepentingan agar mampu menjalankan peran sesuai cita-cita awal.
“UMKM Gurindam 12 adalah simbol ruang ekonomi rakyat. Kalau tidak ada regulasi internal yang kuat dan mekanisme pengawasan yang jelas, maka tujuan awalnya bisa melenceng. Ini menyangkut kepentingan hidup banyak keluarga, bukan semata kepentingan personal,” ujarnya.
Pakar kebijakan publik, Rafly S. Hanafiah, menilai keterlibatan UMKM dalam aksi massa terkait polemik lelang Gurindam 12 wajar sebagai bentuk ekspresi kegelisahan sosial. Namun ia mengingatkan bahwa aksi tetap harus dijalankan secara santun, terorganisir, dan tidak melanggar hukum.
“Kalau UMKM bergabung dalam aksi, risikonya ada pada politisasi. Pemerintah dan aparat jangan melihat ini sebatas demonstrasi, tetapi sebagai sinyal ketidakpercayaan publik terhadap pengelolaan aset daerah. Justru momentum ini harus dijadikan bahan evaluasi dalam tata kelola pemerintahan,” jelas Rafly.
Sementara itu, akademisi hukum administrasi negara, menekankan peran UMKM Gurindam 12 sebagai jembatan komunikasi antara rakyat dengan pemerintah. Ia menilai keberadaan wadah ini bisa menjadi kanal aspirasi yang lebih formal dan konstruktif, dengan catatan pengurus tetap fokus pada advokasi ekonomi rakyat.
“Kalau pengurus UMKM hanya ikut terseret arus politik praktis, mereka akan kehilangan legitimasi. Padahal, posisi UMKM Gurindam 12 sangat strategis: mereka adalah representasi suara ekonomi rakyat yang bisa menyampaikan tuntutan secara resmi dan sah kepada pemerintah,” tegasnya.
Gelombang konsolidasi UMKM Gurindam 12 menunjukkan bahwa isu ini bukan lagi sekadar administrasi aset daerah. Gurindam 12 telah menjelma menjadi simbol perjuangan mempertahankan ruang publik dan hak rakyat di ibukota provinsi. Konsolidasi internal yang disiplin, komunikasi yang rapi, serta kesatuan sikap para pelaku UMKM akan menjadi kunci untuk menjaga arah perjuangan tetap pada jalurnya.
Situasi menjelang aksi 2 Oktober memperlihatkan adanya benturan kepentingan, sekaligus membuka ruang refleksi bersama: apakah pemerintah daerah siap menghadirkan tata kelola yang berpihak pada rakyat, atau justru membiarkan kebijakan yang berpotensi mengabaikan hak publik terus berjalan?
Arf-6