MabesNews.tv, Tanjungpinang – Rencana Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melelang kerja sama pengelolaan aset seluas 7.400 meter persegi di kawasan Taman Gurindam 12 terus menuai sorotan. Di satu sisi, langkah Gubernur yang didukung oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Kepala Dinas Pariwisata dinilai sebagai gagasan strategis untuk menata kawasan tepian laut agar menjadi magnet pariwisata, destinasi kuliner, sekaligus ruang rekreasi masyarakat. Sejumlah kalangan sepakat bahwa pembangunan infrastruktur seperti Pulau Penyengat, Sungai Carang, Akau Potong Lembu, hingga pasar rakyat merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam membenahi wajah ibu kota provinsi.
Namun, di balik apresiasi terhadap semangat pembangunan tersebut, muncul pertanyaan kritis terkait skema lelang pengelolaan kawasan 7.400 meter persegi itu. Yang menjadi sorotan utama adalah nilai kerja sama yang ditetapkan sebesar Rp3 miliar. Publik mempertanyakan apakah nilai tersebut berlaku untuk seluruh kawasan atau hanya sebagian blok dari empat hingga lima blok bangunan yang direncanakan. Kecurigaan semakin menguat lantaran hasil appraisal dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. Padahal, kawasan itu berdiri di atas lahan reklamasi yang sangat strategis dengan jangka waktu kerja sama mencapai 30 tahun, bahkan dengan potensi perpanjangan.
Pengamat tata kelola publik, Dr. Herman Fadli, menilai minimnya transparansi terkait hasil appraisal bisa menimbulkan dugaan adanya moral hazard dalam kebijakan ini. “Kalau memang sudah ada kajian dari lembaga independen, mestinya dipublikasikan agar masyarakat tahu berapa nilai wajar lahan tersebut. Tanpa keterbukaan, sulit bagi publik untuk percaya bahwa kebijakan ini sepenuhnya bebas dari potensi penyimpangan,” ujarnya.
Lebih jauh, jika nilai Rp3 miliar tersebut ditetapkan sebagai beban pihak swasta untuk membangun gedung komersial, maka skema itu menyerupai pemberian konsesi lahan jangka panjang kepada pihak ketiga. Dengan perkiraan masa balik modal 8–10 tahun dari bisnis kuliner dan restoran, investor swasta justru berpotensi menikmati keuntungan besar hingga 20 tahun lebih setelahnya. “Ini mengindikasikan ketidakseimbangan antara nilai investasi dan potensi keuntungan jangka panjang yang diperoleh pihak swasta,” tambah Herman.
Pertanyaan lain yang juga mengemuka adalah mengapa kawasan kuliner seluas 7.400 meter persegi tersebut tidak dikelola langsung oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kota Tanjungpinang. Padahal, keberadaan Akau Potong Lembu sebagai pusat kuliner yang sudah dikenal luas memiliki fungsi serupa. Pengamat kebijakan daerah, Dato Chaidar Rahmat, menilai langkah menyerahkan pengelolaan kepada pihak swasta bisa dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap peran BUMD. “BUMD seharusnya didorong untuk mengelola aset strategis seperti ini agar keuntungan bisa kembali ke daerah, bukan jatuh ke kantong swasta semata,” tegasnya.
Persoalan lain terkait pengelolaan lahan parkir di kawasan tersebut juga belum mendapat penjelasan gamblang. Pemerintah sebelumnya menyebut tarif parkir akan digratiskan bagi masyarakat, namun hingga kini belum jelas dari mana sumber pembiayaan untuk menutupi biaya operasional parkir itu. Apakah akan disubsidi dari hasil lelang kerja sama selama 30 tahun, atau justru diambil dari bagi hasil keuntungan pengelola gedung? Ketidakjelasan ini menimbulkan spekulasi bahwa ada klausul tersembunyi yang bisa merugikan daerah.
Kritik semakin keras ketika publik mengingat adanya pengalaman buruk dalam kerja sama pengelolaan aset daerah sebelumnya. Kasus kompleks Dendang Ria, misalnya, menjadi catatan kelam. Kawasan tersebut hanya dinilai Rp60 juta per tahun untuk jangka waktu 30 tahun, dan kontraknya bahkan telah diperpanjang lagi untuk 30 tahun berikutnya. Kasus ini berujung pada persoalan hukum yang merugikan keuangan daerah sekaligus menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap tata kelola aset pemerintah. Bagi sebagian kalangan, pengalaman tersebut menjadi bukti nyata bahwa kebijakan serupa di Taman Gurindam 12 berpotensi mengulang kesalahan yang sama.
Aktivis Muda Kepulauan Riau, menegaskan bahwa pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengelola aset reklamasi yang bernilai tinggi. “Jangan sampai publik menilai kebijakan ini hanya sekadar memindahkan aset strategis daerah ke tangan swasta dengan harga murah. Kalau pengelolaannya tidak transparan, bisa muncul tuduhan bahwa ada pihak-pihak yang diuntungkan secara tidak wajar,” katanya.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, pemerintah daerah menegaskan bahwa skema kerja sama yang ditawarkan sudah sesuai aturan dan prinsip tata kelola yang baik. Kepala Dinas PU Provinsi Kepri, dalam keterangannya, menyebutkan bahwa penilaian aset telah melalui mekanisme appraisal resmi dan nilai Rp3 miliar merupakan hasil kajian profesional, bukan angka sembarangan. “Appraisal dilakukan oleh KJPP yang independen. Mekanismenya sudah sesuai dengan regulasi, dan tidak ada sedikit pun niat pemerintah untuk merugikan daerah,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata menambahkan bahwa kerja sama dengan pihak ketiga dipilih karena pemerintah daerah tidak bisa menanggung seluruh beban pembangunan dan pengelolaan sendiri. Menurutnya, pelibatan swasta justru akan mempercepat pengembangan kawasan wisata. “Kita tidak ingin kawasan ini mangkrak. Dengan kerja sama, kita dorong agar Taman Gurindam 12 benar-benar hidup sebagai destinasi wisata dan kuliner, tanpa mengurangi hak masyarakat untuk menikmatinya,” katanya.
Pemerintah juga berjanji bahwa perjanjian kerja sama akan dilengkapi klausul pengawasan ketat dan bagi hasil yang jelas untuk daerah. Bahkan, menurut penjelasan resmi, mekanisme pengelolaan parkir gratis bagi masyarakat akan ditanggung melalui skema subsidi silang dari keuntungan yang diperoleh pengelola. “Tidak ada yang dirugikan, justru masyarakat yang diuntungkan,” tambah pejabat terkait.
Kontroversi ini menunjukkan bahwa meski gagasan menjadikan Taman Gurindam 12 sebagai ikon pariwisata patut diapresiasi, pelaksanaan teknis kebijakan harus dilandasi prinsip good governance yang sesungguhnya: transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik. Tanpa penjelasan detail soal appraisal, skema bagi hasil, alasan menyingkirkan BUMD dari proses pengelolaan, serta keberanian belajar dari kesalahan masa lalu seperti kasus Dendang Ria, wajar jika publik curiga ada moral hazard yang bersembunyi di balik niat baik pemerintah. Kini, bola ada di tangan pemerintah untuk membuktikan komitmen keterbukaan dan memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Kepri.”arf-6