MabesNews.tv – Jakarta : Di tengah dinamika sosial-politik Indonesia yang semakin kompleks, muncul berbagai fenomena yang mencerminkan kemunduran dalam nilai-nilai dasar kepemimpinan dan moral publik. Dr. Iswadi, seorang intelektual dan pemerhati sosial yang telah lama menyoroti persoalan etika kepemimpinan, menyampaikan keprihatinan mendalam tentang apa yang ia sebut sebagai krisis kepemimpinan yang bersumber dari hilangnya budaya malu.Hal tersebut disampaikan nya kepada wartawan Melalui pesan WhatsApp,, Minggu 7 September 2025
Dr. Iswadi menyampaikan bahwa bangsa ini tengah berada pada titik kritis, bukan hanya karena tantangan ekonomi atau ketimpangan sosial, tetapi karena kerusakan dalam sistem nilai yang seharusnya menjadi fondasi kepemimpinan. Ia menyoroti bahwa banyak pemimpin saat ini, baik di tingkat lokal maupun nasional, kehilangan arah karena lebih mementingkan kepentingan pribadi, kelompok, atau partai, dibandingkan dengan tanggung jawab moral terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Kita tidak kekurangan orang pintar, ujar Dr. Iswadi tegas. “Yang kita hadapi hari ini adalah kelangkaan pemimpin yang memiliki rasa malu malu jika gagal menepati janji, malu jika korupsi, malu jika menindas rakyatnya sendiri. Budaya malu yang seharusnya menjadi rem moral, kini seolah menguap begitu saja.
Dalam pandangan Dr. Iswadi, budaya malu bukanlah sekadar norma sosial atau tata krama. Ia merupakan pilar moral yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, rasa malu memiliki posisi sentral. Seorang pemimpin desa, misalnya, merasa malu jika tidak mampu melindungi warganya. Seorang guru merasa malu jika muridnya gagal karena kelalaiannya dalam mengajar. Namun kini, budaya itu tergeser oleh budaya pencitraan, pembenaran, dan pengalihan tanggung jawab.
Kita bisa menyaksikan di media sosial dan televisi, para pejabat yang tertangkap tangan melakukan korupsi masih bisa tersenyum di depan kamera. Tidak ada rasa malu. Bahkan seakan-akan itu hanyalah ‘bagian dari permainan politik.’Padahal, rasa malu adalah pertanda bahwa seseorang masih memiliki nurani, kata Dr. Iswadi dengan nada getir.
Ia menambahkan bahwa hilangnya budaya malu ini merupakan cerminan dari kegagalan sistemik dalam pendidikan karakter dan keteladanan. Anak-anak muda tumbuh dalam lingkungan yang membiasakan penipuan sebagai kecerdikan, kebohongan sebagai strategi, dan manipulasi sebagai cara untuk naik ke tampuk kekuasaan. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan mata rantai kepemimpinan yang rapuh dan oportunistik.
Menurut Dr. Iswadi, krisis kepemimpinan di Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh kurangnya kapasitas intelektual atau administratif para pemimpin. Masalah utamanya adalah hilangnya kompas moral. Ketika seseorang menduduki jabatan publik, ia seharusnya menyadari bahwa posisinya adalah amanah, bukan hak istimewa. Namun dalam praktiknya, banyak yang memperlakukan kekuasaan sebagai alat untuk memperkaya diri atau membangun dinasti politik.
Kepemimpinan sejati membutuhkan integritas, bukan hanya popularitas. Dan integritas itu lahir dari kesadaran etis yang dalam bahwa setiap keputusan yang diambil harus berpihak kepada kebenaran dan keadilan, bukan sekadar kepentingan sesaat, tegasnya.
Dr. Iswadi juga menyoroti bahwa sistem demokrasi yang kita jalani belum sepenuhnya melahirkan pemimpin yang berkualitas, karena proses rekrutmen politik masih didominasi oleh kapital dan kekuasaan. Akibatnya, figur-figur yang tampil ke permukaan seringkali bukan yang terbaik dari segi kapasitas moral, melainkan yang paling mampu membeli panggung.
Sebagai solusi, Dr. Iswadi menekankan pentingnya menghidupkan kembali budaya malu, baik dalam ruang publik maupun privat. Ini bukan tugas yang mudah, tapi sangat mendesak. Ia mengajak seluruh elemen bangsa mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, media, hingga institusi keagamaan untuk menjadikan budaya malu sebagai bagian integral dari pembentukan karakter bangsa.
Kita harus mendidik generasi muda untuk merasa malu jika berbohong, malu jika tidak bekerja keras, malu jika menindas orang lemah. Budaya malu ini bukan bentuk inferioritas, tetapi justru ekspresi tertinggi dari rasa tanggung jawab moral, ujarnya.
Dr. Iswadi menyampaikan harapan: bahwa suatu hari nanti, bangsa ini akan dipimpin oleh orang-orang yang tidak hanya cerdas dan berani, tetapi juga memiliki rasa malu yang tinggi. Karena dari rasa malu itulah tumbuh kesadaran untuk berbuat benar, untuk bersikap adil, dan untuk mencintai rakyat dengan tulus.
Jika kita ingin menyelamatkan masa depan negeri ini,” kata Dr. Iswadi, “maka kita harus mulai dengan menanamkan kembali budaya malu dalam hati setiap anak bangsa. Dari situ, krisis kepemimpinan akan mulai menemukan jawabannya.##