MabesNews.tv, Tanjungpinang – Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) melelang pengelolaan kawasan ikonik Gurindam 12 memantik gelombang kritik. Alih-alih menjadi ruang publik, kawasan yang dibangun dengan uang rakyat itu kini berpotensi diserahkan ke tangan swasta. Publik menilai, keputusan ini bukan hanya soal tata kelola, melainkan bentuk nyata pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat.
Gubernur Kepri Ansar Ahmad berdalih bahwa pengelolaan oleh Pemprov adalah konsekuensi logis, sebab pembangunan Gurindam 12 dibiayai provinsi. “Kalau ada pihak-pihak yang asal ngomong, itu tidak benar. Ini kan yang bangun dulunya provinsi. Jadi kita yang harus mengelola agar kawasan itu rapi dan bisa jadi magnet wisata,” ujarnya di Tanjungpinang, Jumat (12/9).
Ansar menegaskan pelelangan itu sudah sesuai aturan. Bahkan, menurutnya, Pemko Tanjungpinang tidak perlu ikut campur. “Kalau pemko mau ikut ya silahkan. Kita sama-sama kerja saja,” ucapnya.
Namun, dalih itu dipandang banyak kalangan hanya menutupi niat sesungguhnya: menyerahkan ruang publik strategis ke tangan pemodal. Padahal, dari mekanisme yang dijalankan, lima perusahaan sudah mendaftar, hanya satu di antaranya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), selebihnya swasta murni. Itu berarti, sangat mungkin Gurindam 12 berubah wajah menjadi kawasan komersial, di mana rakyat kecil dipaksa merogoh kocek untuk sekadar masuk ke ruang yang seharusnya gratis.
Seorang pengamat politik lokal menilai, retorika pemerintah hanya kamuflase. “Kalau benar demi rakyat, kenapa harus dilelang ke swasta? Kenapa rakyat harus bayar tiket masuk ke tanah mereka sendiri? Ini bukan soal rapi atau tidak, ini soal siapa yang dapat untung. Yang jelas, rakyat akan jadi penonton, sementara oligarki pemodal yang akan menuai panen,” tegasnya.
Kritik lebih tajam datang dari kalangan aktivis. Mereka menyebut DPRD sebagai pihak yang harus bertanggung jawab mengawal aspirasi, namun justru sering abai. “Anggota DPR dan DPRD itu karyawan rakyat. Tapi nyatanya mereka jadi ‘bos kecil’ yang sibuk melayani kepentingan bos-bos besar di belakang layar. Mereka pragmatis, mental dagang, dan hampir semua buta terhadap politik kenegaraan. Yang mereka pikir hanya kursi dan perut mereka sendiri,” kecam seorang aktivis sipil di Tanjungpinang.
Fenomena ini disebut sebagai wajah telanjang oligarki politik di Indonesia. Biaya politik yang mahal membuat hanya orang berduit yang mampu maju sebagai calon legislator. Mereka bukan lahir dari intelektualitas atau idealisme, melainkan dari isi tas yang tebal. Akibatnya, parlemen dan pemerintah hanya menjadi perpanjangan tangan kepentingan pemodal.
“Korupsi itu merata di semua lini, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Maka jangan heran kalau pengusaha nakal bisa mengatur segalanya. Aturan bisa dibeli, hukum bisa disulap, keputusan bisa diperdagangkan. Lelang Gurindam 12 adalah potret kecil bagaimana uang lebih berdaulat ketimbang rakyat,” ujar seorang pengamat hukum dengan nada keras.
Kebijakan yang dibungkus jargon wisata dan penataan landscape itu sesungguhnya hanyalah wajah lain dari privatisasi ruang publik. Alih-alih menghadirkan kenyamanan, ia justru membuka peluang eksklusivitas, di mana rakyat kecil tak lagi punya hak penuh di ruang kotanya sendiri.
Kini bola panas ada di tangan DPRD Kepri, khususnya anggota dapil Tanjungpinang. Publik menanti apakah mereka benar-benar berpihak pada rakyat atau hanya menjadi boneka oligarki. Seorang tokoh masyarakat menantang, “Mari kita lihat, siapa yang berani bersuara lantang membela Tanjungpinang. Kalau diam, berarti mereka tidak lebih dari karyawan rakyat yang sudah dibeli bos-bosnya.”
Gurindam 12 seharusnya menjadi simbol kebanggaan Kota Tanjungpinang. Namun jika dilelang ke swasta, ia justru akan dikenang sebagai monumen pengkhianatan: ruang publik yang dijual, rakyat yang dipinggirkan, dan hukum yang dibisukan oleh kepentingan oligarki.”redaksi