MABESNEWS.TV, SAMPANG Madura – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sampang, Jawa Timur, dibuat geram oleh ketidakhadiran empat Penjabat (Pj) Kepala Desa dari Kecamatan Banyuates dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu (24/9).
Ketidakhadiran yang dinilai “membangkang” ini memantik pertanyaan kritis: apakah ini bentuk arogansi birokrasi tingkat desa, ataukah ada “tangan tak terlihat” yang memerintahkan mereka untuk mangkir?
Keempat Pj Kades yang diundang secara resmi melalui Camat Banyuates itu adalah dari Desa Tlagah, Olor, dan Tolang.
Rapat yang digelar di ruang Komisi Besar DPRD Sampang itu bertujuan mengklarifikasi dugaan pemberhentian sejumlah perangkat desa yang dinilai sepihak dan non-prosedural.
Nur Mustaqim, Anggota DPRD dari PAN Dapil Banyuates dan Ketapang, menegaskan kehadiran keempat pejabat itu crucial untuk transparansi.
“Kami perlu kejelasan proses pemberhentian yang dinilai non-prosedural. Ketidakhadiran mereka patut diduga ada kekuatan yang mengintervensi,” ujarnya, Rabu. (24/9)
Kecurigaan adanya intervensi semakin mengemuka mengingat undangan disampaikan melalui jalur birokrasi resmi, yakni Camat. Pertanyaannya, apakah Camat telah menyampaikan undangan tersebut secara efektif? Atau justru ada instruksi dari level tertentu dalam birokrasi eksekutif untuk tidak memenuhi panggilan legislatif?
Kemarahan legislatif tampak jelas dari pernyataan pimpinan dewan. Moh Iqbal Fathoni, Pimpinan DPRD Sampang, menyatakan tindakan ini bukan sekadar pembangkangan, tetapi bisa ditafsirkan sebagai bentuk pelecehan terhadap institusi.
“Pj Kades ini adalah Pejabat Administrasi yang seharusnya tunduk pada aturan dan pengawasan. DPRD adalah lembaga resmi yang koordinasinya tidak bisa diabaikan,” tegas bung Fafan panggilan akrab
Sementara itu, H Abdussalam, anggota dewan dari dapil yang sama, melihat fenomena ini sebagai indikasi arogansi birokrasi di tingkat desa. “Ini memperkuat dugaan adanya arogansi,” katanya.
Akankah Ada Konsekuensi?
RDP ini sendiri digelar untuk menindaklanjuti surat audiensi dari Barisan Pemuda Peduli Desa (BPPD) yang mempertanyakan transparansi kebijakan di level desa.
Ketidakhadiran para Pj Kades justru mengaburkan persoalan utama dan mengalihkannya pada persoalan baru: konflik antara legislatif dan eksekutif.
Yang kini menjadi sorotan adalah langkah apa yang akan diambil DPRD selanjutnya.
Apakah dewan hanya akan berhenti pada kecaman verbal, atau akan mengambil langkah hukum dan politik yang lebih tegas, seperti memanggil dengan paksa atau merekomendasikan sanksi administratif kepada Bupati Sampang selaku penanggung jawab utama para pejabat tersebut.
Jika tidak ada tindak lanjut yang konkret, insiden ini berpotensi melanggengkan budaya tidak menghargai akuntabilitas publik dan memperlemah fungsi pengawasan DPRD.
Di sisi lain, ketidakhadiran para Pj Kades tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan meninggalkan catatan kelam dalam tata kelola pemerintahan desa yang baik.(Imam B)