Oleh : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
Mabesnews.Tv-Sejak Muhammad Rizal Pahlevi dilantik sebagai Direktur Utama PT Angkasa Pura Indonesia pada 25 Mei 2025, wajah pengelolaan bisnis di bandara berubah drastis. Dengan dalih profesionalisme dan efisiensi, ia mewajibkan semua unit usaha di lingkungan bandara melalui mekanisme seleksi lelang. Namun di balik jargon transparansi itu, yang terjadi justru penyingkiran koperasi rakyat.
Koperasi KOKAPURA sebuah wadah karyawan dan pensiunan Angkasa Pura Bali yang selama lebih dari dua dekade mengelola dispenser apron di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Usaha ini dikelola secara profesional, menopang ratusan anggota, dan menjadi contoh nyata keberlanjutan koperasi di sektor strategis. Namun, di bawah aturan baru, KOKAPURA dinyatakan kalah dalam lelang. Pemenangnya adalah PT Pasifik Energi Trans, perusahaan swasta dengan modal besar.
Kebijakan ini jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Regulasi itu mewajibkan BUMN dan pengelola infrastruktur publik menyediakan ruang minimal 30 persen bagi koperasi dan UMK, serta memberi perlindungan dari praktik persaingan tidak sehat. Bukan justru menyingkirkan koperasi rakyat demi perusahaan padat modal.
Lebih ironis, jejak lama Rizal Pahlevi menunjukkan indikasi konflik kepentingan. Sebelum menjadi Dirut Angkasa Pura, ia pernah menjabat direktur PT Pasifik Energi Trans, perusahaan yang kini memenangkan tender menggantikan koperasi. Fakta ini menimbulkan dugaan kuat adanya state capture, dimana pejabat memanfaatkan kebijakan publik demi keuntungan jaringan bisnis pribadi atau kolega. Saat ini, PT Pasifik Energi Trans sudah menguasai bisnis energy supply station di sejumlah bandara besar seperti Sultan Hasanuddin, Kualanamu, Sultan Iskandar Muda, hingga Juanda.
Bila dugaan ini benar, maka kebijakan Angkasa Pura bukan hanya melanggar PP 7/2021, tapi juga berpotensi menabrak UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) semestinya turun tangan menyelidiki indikasi monopoli ini. Bahkan, karena menyangkut jabatan publik, kasus ini bisa masuk ranah korupsi kebijakan (policy corruption) yang menjadi domain kejaksaan dan kepolisian.
Namun yang paling menyakitkan bagi publik Bali adalah dimensi simboliknya. Penasehat KOKAPURA adalah I Gusti Ngurah Gede Yudana, putra pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai. Selama ini, keluarga pahlawan itu menolak menerima royalti atas penggunaan nama bandara, sebagai bentuk pengabdian pada bangsa. Kini, koperasi yang ia bimbing justru digusur oleh kebijakan sepihak yang memberi jalan pada kroni bisnis. Seolah nama pahlawan hanya jadi ornamen, sementara rakyat yang mewarisi semangat perjuangannya justru dipinggirkan.
Dari sisi ekonomi, dampak penggusuran ini amat serius. Ratusan anggota koperasi kehilangan mata pencaharian, ribuan keluarga kehilangan sumber penghidupan. Di tengah agenda Presiden Prabowo yang gencar menggaungkan pemberdayaan koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional, kebijakan Dirut Angkasa Pura justru terlihat sebagai pembangkangan.
Kisah KOKAPURA di Ngurah Rai adalah potret telanjang bagaimana BUMN bisa tergelincir dalam praktik kapitalisme kroni. Bila dibiarkan, koperasi di bandara-bandara lain hanya tinggal menunggu giliran digusur.
Pertanyaannya kini, apakah pemerintah berani menindak tegas Dirut Angkasa Pura yang diduga menyalahgunakan kewenangan? Atau rakyat kembali harus menyaksikan hukum tunduk di bawah sayap bisnis kroni?
(Samsul Daeng Pasomba/Tim)