Oleh, Maman A Majid Binfas
Mabesnews.tv, Hampir sebagiann besar para ilmuwan, menyepakati makna dari otokritik sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian diri secara objektif. Kemampuan yang melibatkan proses refleksi dan analisis diri terhadap tindakan, baik berupa keputusan atau karya yang dihasilkan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik dengan perbaikan maksimal.
Dalam konteks seni, otokritik bisa diartikan sebagai penilaian terhadap unsur-unsur estetis dalam suatu karya untuk mencapai kualitas bentuk yang optimal. Sementara itu, dalam konteks psikologi, Sigmund Freud (1890) menganggap kritik sebagai upaya untuk mengubah ketidaksadaran menjadi kesadaran, yang merupakan dasar dari psikoanalisis.
Psikoanalisis adalah teori psikologis dan metode terapi yang berfokus pada pemahaman alam bawah sadar dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar. Tujuannya untuk menggiring ingatan dan emosi yang tertekan ke permukaan, sehingga seseorang dapat mengatasi masalah psikologisnya dengan lebih baik. Teori ini digunakan sebagai metode penelitian sistematis untuk mempelajari perilaku dan pikiran manusia.
Temasuk, otokritik juga bemuara kepada kemampuan untuk mengkritik diri sendiri secara objektif, mengakui ketidaksempurnaan, dan memiliki niat untuk berubah menjadi pribadi manusia yang lebih baik guna membuang moral kebinatangan.
Jiwa/karakter manusia menurut Al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin (t.th) diperkirakan tahun 489 H/1095 M, menjelaskan bahwa manusia memiliki jiwa yang kompleks dengan tiga komponen utama. Jiwa Rasional (Nafs al-Natiqah) yang bertanggung jawab atas kecerdasan, Jiwa Hewani (Nafs al-Hayawaniyah) yang berkaitan dengan emosi dan nafsu, dan Jiwa Jasmani/Plant (Nafs al-Nabatiyah) yang mengatur fungsi tubuh dasar. Hati berfungsi sebagai “raja” yang mengatur akal dan nafsu, dengan akal sebagai “perdana menteri” untuk memahami kebenaran dan nafsu yang mengarah pada kesenangan duniawi. Sifat manusia ditentukan oleh kualitas hatinya; hati yang baik menghasilkan perilaku baik, sementara hati yang buruk mengarah pada kehancuran menjadi perpaduan berjiwa keblisan dan hewani.
Jiwa hewani adalah sumber konflik internal, karena ia selalu bersaing dengan jiwa rasional (jiwa manusiawi). Kesehatan mental dan spiritual bergantung pada kemampuan jiwa rasional untuk mengendalikan dan mengarahkan jiwa hewani menuju moralis untuk mengabdi dengan Lillahi Ta’ala sehingga tidak berjiwa kebabian.
Jiwa Bah Bermoral Babian
Sub bagian goresan berikut ini, awalnya berjudul ” Presiden, Demokrasi ala Moral Babi”. Kemudian, saya kirim ke media Pedoman Karya, dan direspon dengan saran santun oleh ustadz Asnawin Aminuddin/ pimpinan redaksinya dengan komentar japrian:
“Afwan, sepertinya judulnya terlalu peka, sebaiknya jangan pakai kata Babi.” says balas “oh gitu, ustadz”. Selanjunya, beliau balas lagi: “Iye’, tidak nyaman ki…”. saya balas “ok, saya pikirkan lagi judulnya, terimakasih.”
Kemudian, saya kirim goresan tersebut kepada koordinator media lintas nusantara ” C. dr. Nursalim” untuk mengetahui juga tanggapannya, lebih kurang pkl. 21:50, 4/9/2025. beiau berkometar singkat ‘ Keras ‘, lalu saya balas : memang agak keras untuk suasana sekarang.
Selanjutnya, beliau komentar “Bukan takut tapi resikonya”, dan saya balas “ok, dimaklumi, syukron.
Dan akhirnya, saya menghargai kesantunan dari saran tersebut, dengan mengubah judulnya menjadi “Presiden, Demokrasi ala Hewan” termasuk, diksi bagian kesimpulan diselaraskan dengan judulnya.
Tujuan saya, tidak lain hanya berdiologis tentang pengaruh psikologis akan perilaku sehingga diharamkan mengkonsumsi daging babi di dalam agama Islam. Sebagaimana, dialogis cerdas Muhammad Abduh dengan ilmuwan Prancis.
Di mana, “Ketika Muhammad Abduh berada di Prancis, ada beberapa ilmuwan di sana mengajak diologis dengan mengajukan pertanyaan menggelitik dan membingungkan mengenai keharaman daging babi.
“Kalian umat Islam mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu, sekarang ini sudah tidak ada. Babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin, babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya?”
Sebagai ulama yang cerdas dan tawadhu, Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecedasannya, beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.
Mengetahui hal itu, mereka bertanya: “Untuk apa semua ini?”
“Penuhi apa yang saya minta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.”
Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan mengurung secara terpisah antara yang betina dengan jantan selama kurang lebih sepekan. Setelah itu, menyuruhnya untuk menggabungkan dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang.
Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas.
Kemudian, beliau lagi menyuruh mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. ..”
Akhirnya, goresan dimaksud, termuat di Pedoman Karya (2025/09) dengan topik. Presiden, Demokrasi ala Hewan.
Kemudian, ada lagi goresan saya bertopik “Presiden Prabowa, Kesurupan Bernegara”, di media MabessneW. TNI-POLRI dan Pedoman Karya (9/9/2025). Muncul beragam yang mengomentari dan mendanggapi goresan tersebut, baik bersifat Argumen Logis(ArLog)maupun berindikasikan kepada Apologistik Bersifat Argumentatif Hasutan (Abah). Di Group Whatsapp Tamadun antar Bangsa di antaranya, Dr Abidin Pamu: “Mantap komennya Sahabatku Dr.Maman. Sastrawan dan Budayawan menyatu dalam nama yg bernama “Maman”. Kemudian, saya balas “Waduh, bila senior telah berkoment demikian, saya manut aje, terimakasih”.
Ada beragam komentar yang bersifat ala tendensius, sekalipun tak logis di tautan Facebook, di antaranya; “Penulisnya juga kesurupan membela yang dicopot.” Saya menanggapi; maksudnya, dari sudut mananya?. dia balas “baca ulang tulisanta ha …”. Kemudian, Saya balas dengan terpaksa menekan durasi agak berkesan logis;
“kalau dari esensinya, belum telalu maksimal dengan itu saja, mungkin ada tambahan idenya untuk saya goresan lagi, kira2 dari sudut apanya lagi ?” tanpa dibalas, kemudian muncul komentar dari temannya, “husss keras itu Dinda, narasi ta”.
Jadi, apapun bentuk otokritik yang muncul dari hasil karya kita, tidak mesti ditanggapi dengan menguras gizi energi, baik kritikal yang bersifat arlog maupun abah an sich and desperate doang tak karuan.
Bahkan dengan munculnya otokritik beragam, justru akan semakin bening nan benderang kelogisan kita di dalam menempa karya goresan apa pun sebagai wujud berkifayahan.
Diksi “kifayah” boleh diartikan “kecukupan” dan secara istilah merujuk pada fardhu kifayah, yaitu kewajiban kolektif dalam Islam yang akan gugur bagi seluruh umat Muslim, jika sudah dilaksanakan oleh sebagian dari kaum atau umat muslimin.
Berkifayahan dalam Berkarya
Kalau tak mampu bersaing dengan sehat, baik di dalam berkarya atau berikhtiar kifayah tak serupa
Logisnya. adalah bersabar untuk memahami akan kadar kualitas diri yang diridhai Tuhan.
Bukan memaksakan diri sehingga menggerutu akan kelebihan orang lain. Bila demikian, alur kadar logikanya, tentu mustahil tak berdampak hingga berpenyakitan kedengkian yang berangkulan dalam dimensi super kedunguan tulen.
Dimensi logika demikian, tentu tanpa bisa dibendung lagi hingga mautan kematian mendadak pun mesti diterima pula.
Hidup yang logis dan eloknya, adalah saling memahami kadar kualitas diri masing-masing, sehingga diberkahi oleh Tuhan hingga yaumul akhir pun tetap akan berseri kepada husnul khotimah yang mesti diaamiinkan.
Maka, barkaryalah dengan berkifayahan yang logis tanpa berkesudahan, demi pengabdian yang Lillahi ta’ala mesti dikedepankan sehingga mengalir alami.
Diberkahi Mengalir Alami
Elok dan indahnya kehidupan ini, adalah mengalir alami dan menghindari diri dari arogansi di dalam menyuburkan kesombongan.
Nikmati saja apa adanya yang diberkahi, tidak mesti berlebihan.
Manakala, mau bersalaman dengan kesuburan dan keberkahan dari QS Al_A’raf:56 yang berarti;
“Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Bila ada kelebihan, sebaiknya berbagi guna saling membagi kebahagiaan antara satu sama lain dengan baik agar mengalir alami.
Bukan sebaliknya, dipamerin yang justru akan berdampak buruk kepada diri dan keluarga.
Apalagi, bagian diarogansikan bukan dari hasil keringat yang diberkahi, tetapi atas kelihaian bersilumamisasi di dalam bergaronisasi hak orang lain.
Manaka demikian, maka tidak terlalu keliru bila orang lain pun, mungkin akan mengotokritik dengan logika kedunguan, namun bagi yang warasan memang tak mesti membalas dengan perilaku logika demikian pula. Apalagi, dibiaskan kepada “Dasar Dunguan” pula.
Orang yang terjangkiti saraf otak akut dunguan, memang sulit disiumankan akan kemajnunannya, biar puluhan tahun pun diterapi secara masif tetap saja akutan. Bahkan orang yang waras menjenguknya, dibilangin tak waras pula !
Dasar kedunguan akutan, kita mesti memahaminya dengan logika super bening kesabaran, baik secara pikiran maupun batin.
Bening
Bening batin, itu kosong dari noda gulitaan apapun
Hening pikiran, itu kosong dari noda gulitaan apapun
Bening dan hening, yakni tidak berpaling, di antaranya dari QS Al-An’am : 108 yang berarti;
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka kepada kebatilan, … dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan karena keengganan mereka mengikuti petunjuk.”
Selanjutnya di dalam QS Al-An’am: 110 yang berarti;
” … Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an) serta Kami membiarkan mereka bingung dalam kesesatan”
Maka, agar tetap meyakini pesan otokritik ayat di atas, sebaiknya kita berkarya dengan lillah, sekalipun bersifat otokritik apa pun bentuknya dimunculkan.
Berkaryalah Dengan Lillah
Bila idemu telah ada jangan ditunda, bergegaslah untuk menggores apa adanya. Biar pada secarik sobekan kertas bungkus rokok agar tak terlupakan.
Sekalipun, tak sempurna, namun tangkap titisan secuil gagasan sebagai ilham anugerah dari Tuhan. Jangan biarkan potongan diksi mengalir dengan percuma tanpa berkesan.
Biar suratan akan bersuara alami, tak usah dirisaukan tapak akan merona atau ecekan diakumulasikan menanti dikemudian. Itu soal lain, bukan menjadi harapan akan pujian atau makian
Terpenting, berkarya dengan cahaya akar dari kebenaran lillahi Ta’ala, sebagai wujud pengabdian tulen hanya kepada Tuhan.
Berkaryalah jangan ditunda sekalipun, tak sempurna
biar ia mengalir apa adanya menjadi wujud pengabdianmu
Jadi, otokritik sesungguhnya, adalah obat pengabdian sebagai wujud kemampuan sesorang untuk mengkritik diri sendiri secara objektif, mengakui ketidaksempurnaan dirinya.
Termasuk, ada niat untuk siumam guna berubah menjadi pribadi manusia yang lebih baik guna membuang moral kebinatangan. Apalagi, di saat menggenggam amanah ubun-ubun publik secara meluas, tidak terkecuali yang dialamatkan kepada Presiden atau yang lainnya berkaĺam. Wallahualam.